Friday, 2 September 2016

DON'T BREATHE


Cenderung kesulitan menjumpai film horor yang terpatri kuat di ingatan tahun lalu, eh tidak dinyana-nyana pecinta genre ini dimanjakan sekali di 2016 dengan bertebarannya film seram berkesan mendalam. Hampir setiap bulan terwakili oleh satu judul film – kebanyakan diantaranya enggan menyambangi bioskop tanah air kecuali The Conjuring 2 beserta Lights Out – dan khusus bulan Agustus, menghadirkan Don’t Breathe arahan Fede Alvarez yang sebelumnya memberi kita ‘pesta darah’ kala mengkreasi ulang The Evil Dead. Bertolak belakang dengan debut film panjangnya, Don’t Breathe tidak meneror penonton lewat kekerasan berlevel tinggi yang memerahkan layar sekaligus bikin ngilu melainkan nuansa klaustrofobik sangat mengganggu bertabur ketegangan yang mengalami eskalasi di setiap menitnya. Ya, daya cekam hebat adalah kunci utama dari keberhasilan Don’t Breathe. Saking hebatnya, saya bahkan cukup berani untuk mencalonkan Don’t Breathe sebagai kandidat utama film horor terbaik sepanjang tahun 2016. 

Guna menggerakkan film, Fede Alvarez mula-mula menautkan kita kepada tiga serangkai yang terdiri dari Rocky (Jane Levy), Alex (Dylan Minnette), dan Money (Daniel Zovatto). Ketiganya adalah pelaku tindak kriminal kelas teri yang sehari-harinya membobol rumah seorang kaya demi ‘meminjam’ barang-barang berharga guna dijual ditukarkan dalam rupa uang. Motivasi para penduduk Detroit yang tersingkirkan ini melakukan pencurian adalah semata-mata demi mendapatkan kehidupan lebih layak atau bagi Rocky itu berarti memboyong dirinya dan adiknya ke California, meninggalkan sang ibu yang masa bodoh dengan keberadaan mereka. Sayangnya, untuk mewujudkan mimpi-mimpi tersebut, mereka tidak bisa bergantung pada hasil penjualan barang curian. Mau tak mau mereka pun harus mengingkari komitmen untuk tidak merampok uang tunai apabila ingin terbebas dari hunian mereka di Detroit. Petunjuk dari informan Money mengarahkan ketiganya ke rumah seorang veteran perang (Stephen Lang) yang konon menyimpan uang senilai $300 ribu sebagai kompensasi kehilangan sang putri yang tewas dalam suatu kecelakaan. 

Di atas kertas, sepintas sih rencana menyantroni rumah si veteran perang memang terdengar sepele karena: pertama, si pemilik rumah buta dan dia adalah satu-satunya penghuni selain anjing penjaga. Dan kedua, si veteran perang mendiami sebuah rumah sederhana di area pemukiman yang telah ditinggalkan. What possibly could go wrong gitu loh? Problematikanya, Rocky, Alex, dan Money sedari awal tidak mempunyai cukup persiapan. Tanpa dibekali informasi mencukupi perihal identitas sesungguhnya dari si pria buta dan bagaimana cetak biru rumah yang hendak mereka satroni, pada dasarnya mereka sejatinya buta soal kondisi lapangan. Penonton pun memperoleh pandangan yang sama dengan ketiga remaja ini, tidak tahu menahu apa yang menunggu dibalik pintu. Disinilah letak keasyikkannya. Dengan membaca penggalan cerita – serta merujuk ke pola film berjenis home invasion kebanyakan – bisa jadi sebagian penonton mengira ini akan dilantunkan begitu-begitu saja. Si pria buta adalah korban, sementara para begundal-begundal remaja adalah pihak yang perlu diwaspadai. Lalu sepanjang durasi disesaki oleh adegan mereka saling berkejar-kejaran selayaknya kucing dan tikus demi mempertahankan hidup masing-masing. 

Berpatokan pada premis sederhananya, mudah bagi kita memandang remeh. But I can assure you, Don’t Breathe tidak sesederhana tampak luarnya seperti halnya bangunan rumah dalam film ini. Begitu penonton diajak menapaki TKP, kelokan-kelokan berdaya kejut maksimal menghantui secara silih berganti. Posisi antara para ketiga tokoh remaja dengan si pria buta secara cepat bertukar. Laju film yang awalnya mengalun agak perlahan demi memaparkan sekelumit latar belakang bagi Rocky serta Alex sehingga kata ‘simpatik’ bisa disematkan ke mereka, beralih ke mode beringas. Aroma berbahaya langsung menguar terhitung sejak Stephen Lang yang sangat menjiwai perannya melontarkan dialog pertamanya. Menghindari banyak basa-basi – kengerian sosok pria buta lebih banyak bersumber dari bahasa tubuh – dia langsung menutup seluruh akses keluar masuk rumah. Ditopang palet warna pucat, gerak kamera cekatan, serta iringan musik efektif, rasa tidak nyaman sebagai hasil dari terbitnya suasana klaustrofobik pun menjerat. Satu pertanyaan klasik penuh keingintahuan besar lantas timbul, “apa yang akan terjadi berikutnya?.” 

Ya, walau ruang geraknya berkutat disitu-situ saja, Don’t Breathe sama sekali tidak akrab dengan kata ‘menjemukan’. Sebaliknya, Fede Alvarez handal memanfaatkan sempitnya ruang gerak sebagai kesempatannya untuk memaksimalkan ketegangan apalagi ada tunjangan plot berbalur twist. Kita tidak bisa benar-benar menerka akan diarahkan kemana film ini mengingat setiap sudut merupakan ‘medan pertempuran’ menyeramkan – terlebih rubanah yang mempersembahkan adegan mati lampu paling seram. Singkatnya, setiap ruangan mempunyai ancamannya sendiri-sendiri. Saat kamu mengira telah aman, teror lain yang tidak disangka-sangka kemunculannya menghadang. Begitu seterusnya. Situasinya benar-benar dikreasi sedemikian rupa sehingga sang sutradara tidak bergantung pada jump scare murahan untuk menggedor jantung penonton namun pada keadaan yang mengancam kelangsungan nasib barisan karakternya. 

Lihat saja pada momen dimana Rocky dan Alex tersudut di ruang tamu mencoba menyembunyikan keberadaan mereka dari si pria buta yang menggenggam senjata api. Keheningan menyergap, dua remaja apes tersebut saling mengirimkan tanda melalui kontak mata seraya menahan nafas agar helaannya tidak terendus oleh indera tajam si pria tua, dan perlahan-lahan mencoba memindah pijakan kaki yang ndilalah menyebabkan terciptanya suara lantai berderit. Cenderung mustahil kamu tidak berada di fase ‘berdebar-debar cemas’ saat berada di titik ini karena berdasar pengalaman menonton di gedung bioskop, sejumlah penonton ikut dibuat berteriak-teriak gregetan olehnya. Dan adegan ini bukanlah satu-satunya, malah bisa dikata baru sekadar permulaan. Don’t Breathe mempunyai setumpuk adegan yang memungkinkanmu berkeringat dingin, mengeluarkan sumpah serapah dan kesulitan menghela nafas lega lantaran intensitas tidak main-mainnya. Tanpa perlu diberi peringatan untuk “jangan bernafas”, kita pun sudah terlebih dahulu menahan nafas karena ya bagaimana mau bisa bernafas lha wong Don’t Breathe sedemikian mencekamnya.
 

 

No comments:

Post a Comment