Cenderung
kesulitan menjumpai film horor yang terpatri kuat di ingatan tahun
lalu, eh tidak dinyana-nyana pecinta genre ini dimanjakan sekali di 2016
dengan bertebarannya film seram berkesan mendalam. Hampir setiap bulan
terwakili oleh satu judul film – kebanyakan diantaranya enggan
menyambangi bioskop tanah air kecuali The Conjuring 2 beserta Lights Out – dan khusus bulan Agustus, menghadirkan Don’t Breathe arahan Fede Alvarez yang sebelumnya memberi kita ‘pesta darah’ kala mengkreasi ulang The Evil Dead. Bertolak belakang dengan debut film panjangnya, Don’t Breathe
tidak meneror penonton lewat kekerasan berlevel tinggi yang memerahkan
layar sekaligus bikin ngilu melainkan nuansa klaustrofobik sangat
mengganggu bertabur ketegangan yang mengalami eskalasi di setiap
menitnya. Ya, daya cekam hebat adalah kunci utama dari keberhasilan Don’t Breathe. Saking hebatnya, saya bahkan cukup berani untuk mencalonkan Don’t Breathe sebagai kandidat utama film horor terbaik sepanjang tahun 2016.
Guna
menggerakkan film, Fede Alvarez mula-mula menautkan kita kepada tiga
serangkai yang terdiri dari Rocky (Jane Levy), Alex (Dylan Minnette),
dan Money (Daniel Zovatto). Ketiganya adalah pelaku tindak kriminal
kelas teri yang sehari-harinya membobol rumah seorang kaya demi
‘meminjam’ barang-barang berharga guna dijual ditukarkan dalam rupa
uang. Motivasi para penduduk Detroit yang tersingkirkan ini melakukan
pencurian adalah semata-mata demi mendapatkan kehidupan lebih layak atau
bagi Rocky itu berarti memboyong dirinya dan adiknya ke California,
meninggalkan sang ibu yang masa bodoh dengan keberadaan mereka.
Sayangnya, untuk mewujudkan mimpi-mimpi tersebut, mereka tidak bisa
bergantung pada hasil penjualan barang curian. Mau tak mau mereka pun
harus mengingkari komitmen untuk tidak merampok uang tunai apabila ingin
terbebas dari hunian mereka di Detroit. Petunjuk dari informan Money
mengarahkan ketiganya ke rumah seorang veteran perang (Stephen Lang)
yang konon menyimpan uang senilai $300 ribu sebagai kompensasi
kehilangan sang putri yang tewas dalam suatu kecelakaan.
Di
atas kertas, sepintas sih rencana menyantroni rumah si veteran perang
memang terdengar sepele karena: pertama, si pemilik rumah buta dan dia
adalah satu-satunya penghuni selain anjing penjaga. Dan kedua, si
veteran perang mendiami sebuah rumah sederhana di area pemukiman yang
telah ditinggalkan. What possibly could go wrong gitu loh?
Problematikanya, Rocky, Alex, dan Money sedari awal tidak mempunyai
cukup persiapan. Tanpa dibekali informasi mencukupi perihal identitas
sesungguhnya dari si pria buta dan bagaimana cetak biru rumah yang
hendak mereka satroni, pada dasarnya mereka sejatinya buta soal kondisi
lapangan. Penonton pun memperoleh pandangan yang sama dengan ketiga
remaja ini, tidak tahu menahu apa yang menunggu dibalik pintu. Disinilah
letak keasyikkannya. Dengan membaca penggalan cerita – serta merujuk ke
pola film berjenis home invasion kebanyakan – bisa jadi sebagian
penonton mengira ini akan dilantunkan begitu-begitu saja. Si pria buta
adalah korban, sementara para begundal-begundal remaja adalah pihak yang
perlu diwaspadai. Lalu sepanjang durasi disesaki oleh adegan mereka
saling berkejar-kejaran selayaknya kucing dan tikus demi mempertahankan
hidup masing-masing.
Berpatokan pada premis sederhananya, mudah bagi kita memandang remeh. But I can assure you, Don’t Breathe
tidak sesederhana tampak luarnya seperti halnya bangunan rumah dalam
film ini. Begitu penonton diajak menapaki TKP, kelokan-kelokan berdaya
kejut maksimal menghantui secara silih berganti. Posisi antara para
ketiga tokoh remaja dengan si pria buta secara cepat bertukar. Laju film
yang awalnya mengalun agak perlahan demi memaparkan sekelumit latar
belakang bagi Rocky serta Alex sehingga kata ‘simpatik’ bisa disematkan
ke mereka, beralih ke mode beringas. Aroma berbahaya langsung menguar
terhitung sejak Stephen Lang yang sangat menjiwai perannya melontarkan
dialog pertamanya. Menghindari banyak basa-basi – kengerian sosok pria
buta lebih banyak bersumber dari bahasa tubuh – dia langsung menutup
seluruh akses keluar masuk rumah. Ditopang palet warna pucat, gerak
kamera cekatan, serta iringan musik efektif, rasa tidak nyaman sebagai
hasil dari terbitnya suasana klaustrofobik pun menjerat. Satu pertanyaan
klasik penuh keingintahuan besar lantas timbul, “apa yang akan terjadi berikutnya?.”
Ya, walau ruang geraknya berkutat disitu-situ saja, Don’t Breathe
sama sekali tidak akrab dengan kata ‘menjemukan’. Sebaliknya, Fede
Alvarez handal memanfaatkan sempitnya ruang gerak sebagai kesempatannya
untuk memaksimalkan ketegangan apalagi ada tunjangan plot berbalur twist.
Kita tidak bisa benar-benar menerka akan diarahkan kemana film ini
mengingat setiap sudut merupakan ‘medan pertempuran’ menyeramkan –
terlebih rubanah yang mempersembahkan adegan mati lampu paling seram.
Singkatnya, setiap ruangan mempunyai ancamannya sendiri-sendiri. Saat
kamu mengira telah aman, teror lain yang tidak disangka-sangka
kemunculannya menghadang. Begitu seterusnya. Situasinya benar-benar
dikreasi sedemikian rupa sehingga sang sutradara tidak bergantung pada jump scare murahan untuk menggedor jantung penonton namun pada keadaan yang mengancam kelangsungan nasib barisan karakternya.
Lihat
saja pada momen dimana Rocky dan Alex tersudut di ruang tamu mencoba
menyembunyikan keberadaan mereka dari si pria buta yang menggenggam
senjata api. Keheningan menyergap, dua remaja apes tersebut saling
mengirimkan tanda melalui kontak mata seraya menahan nafas agar
helaannya tidak terendus oleh indera tajam si pria tua, dan
perlahan-lahan mencoba memindah pijakan kaki yang ndilalah
menyebabkan terciptanya suara lantai berderit. Cenderung mustahil kamu
tidak berada di fase ‘berdebar-debar cemas’ saat berada di titik ini
karena berdasar pengalaman menonton di gedung bioskop, sejumlah penonton
ikut dibuat berteriak-teriak gregetan olehnya. Dan adegan ini bukanlah
satu-satunya, malah bisa dikata baru sekadar permulaan. Don’t Breathe
mempunyai setumpuk adegan yang memungkinkanmu berkeringat dingin,
mengeluarkan sumpah serapah dan kesulitan menghela nafas lega lantaran
intensitas tidak main-mainnya. Tanpa perlu diberi peringatan untuk
“jangan bernafas”, kita pun sudah terlebih dahulu menahan nafas karena
ya bagaimana mau bisa bernafas lha wong Don’t Breathe sedemikian mencekamnya.